Kebetulan sekali pagi ini saya kembali bertemu dengan Novel kawak yang sangat fenomenal dan pernah memenangkan sayembara menulis roman pada tahun 1972. Novel buah tangan maestro sastra Putu Wijaya yang lahir terbit pada tahun 1973 ini berjudul “Telegram”.
Novel ini masih misteri sampai sekarang, misteri karena kebanyakan pembaca akan berjuang mencari, menerka dan mengimajinasikan mana fakta dan mana fantasi dalam buku ini.
Buku yang luar biasa ini sebenarnya sangat pas dibaca oleh kaum millenial saat ini.
Benturan masyarakat modern yang hadir menerpa tradisi lama kemudian kegagapan terjadi, keminter tumbuh, kebodohan makin merajalela dalam pelukan sekaligus intimidasi peradaban baru bernama modernisme.
Kini buku semakin dijauhi masyarakat, minat baca semakin menurun sampai UNISCO memberikan peringkat baca Di Nusantara ini berada pada urutan ke 60 dari 61 Negara.
Miris memang…..
Nah kaum muda…….!!!
Senyampang umurmu masih bisa diajak membasahi otak, mari, mari kembalikan hidupmu dengan membaca buku, agar kelak tak malu pada anak cucu.
“Rupanya tak ada hujan jatuh semalam”
Di sini, masih boleh semaunya. Aku bangkitkan diriku ke dalam genangan malapetaka. Kulihat diriku terhimpit di antara ribuan kesibukan dengan kepentingan pribadi bernama manusia.
“Dengan besi besi kereta yang tua tubuhku tak berarti.”
Aku mendongeng panjang. Aku mengira aku sedang merumuskan pendapat-pendapat untuk memenangkan hati dan menenangkannya sekaligus.
Ternyata tidak, aku tak pernah di baca siapapun.